Di era hustle culture, bekerja keras telah menjadi tolak ukur kesuksesan. Lembur dianggap sebagai tanda dedikasi. Kalender kosong bisa memicu rasa bersalah. Tapi... sampai kapan kita terus menekan gas tanpa rem?
Pertanyaannya: Apakah kita kerja untuk hidup, atau justru hidup hanya untuk kerja?
Konsep ini adalah bekerja secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup β finansial, aktualisasi diri, dan kontribusi sosial β tanpa kehilangan keseimbangan pribadi.
Orang yang kerja untuk hidup paham bahwa keseimbangan = keberlanjutan. Mereka tetap produktif tanpa kehilangan jati diri.
Saat hidup hanya berputar di kantor, email, rapat, dan to-do list, kita mulai mengorbankan hal-hal penting: waktu, relasi, bahkan kesehatan.
Menurut WHO, burnout adalah kondisi stres kerja kronis yang tidak berhasil ditangani, dan dampaknya bisa serius bagi kesehatan mental dan fisik.
Hidup yang terlalu terpusat pada kerja bisa tampak "produktif" di luar, tapi rapuh di dalam. Studi menunjukkan bahwa kerja berlebihan dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terhadap penyakit jantung, gangguan tidur, dan depresi.
Sebaliknya, orang yang menjaga keseimbangan kerja-hidup cenderung:
Ingat: Kamu bukan mesin. Berhenti bukan berarti gagal.
Jadi sebelum kamu menambah proyek atau lembur lagi malam ini, tanyakan pada dirimu:
"Aku kerja buat hidup... atau hidup buat kerja?"