Di era banjir informasi, hampir setiap menit kita terhubung dengan kabar terbaru. Dari notifikasi media online, TV, sampai linimasa media sosial. Tapi, tahukah kamu? Paparan berita konflik yang terus-menerus bisa menjadi bumerang bagi kesehatan mental kita.
Alih-alih menambah wawasan, terlalu sering scroll berita buruk bisa membuat kita cemas, stres, dan sulit tidur. Kondisi ini bahkan sudah mulai diteliti oleh banyak ahli kesehatan mental, dan hasilnya konsisten: informasi negatif berulang bisa menurunkan kualitas hidup seseorang.
Otak manusia diciptakan untuk peka terhadap bahaya. Saat kita membaca berita tentang konflik atau kekerasan, otak langsung menyalakan “alarm bahaya” seolah-olah kita berada di situasi tersebut.
Masalahnya, alarm ini tidak berhenti begitu saja. Ditambah dengan rasa tak berdaya melihat kekacauan, empati yang berlebihan, serta kebiasaan doomscrolling (scroll berita tanpa henti), akhirnya muncul kecemasan yang berlarut-larut. Inilah mengapa setelah membaca berita konflik, kita sering merasa gelisah atau tidak tenang.
Efeknya tidak hanya di pikiran, tapi juga pada fisik:
Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang menjadi stres kronis yang meningkatkan risiko masalah kesehatan lain seperti tekanan darah tinggi, gangguan pencernaan, hingga depresi.
Peduli pada keadaan memang penting. Tapi jangan sampai kepedulian itu membuat tubuh dan pikiran kita sakit. Ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan:
Tentukan jadwal, misalnya pagi dan sore, agar otak tidak terus dibanjiri informasi negatif.
Hindari gosip, rumor, atau berita tanpa verifikasi yang hanya menambah kecemasan.
Tarik napas dalam, minum air hangat, jalan sebentar, atau stretching ringan. Hal kecil ini bisa membantu otak keluar dari mode “bahaya”.
Alihkan perhatian pada hal-hal yang benar-benar bisa kamu lakukan, seperti menjaga pola makan, olahraga, atau mendukung orang terdekat.
Berita konflik memang tidak bisa kita kontrol, tapi bagaimana kita meresponsnya adalah kendali penuh kita. Dengan membatasi paparan, menjaga keseimbangan emosi, dan memberi ruang untuk mindfulness, kita bisa tetap peduli tanpa kehilangan kesehatan mental.