Unduh App
Beranda
Informasi

Voucher & Diskon

Acara & Kegiatan

Knowledge Hub

Tentang Kami

Tentang Millway

Manfaat Menjadi Member

Tanya Jawab

Hubungi Kami

Kebijakan Privasi

Bantuan Dokter

Janji Temu Dokter

Tanya Dokter

Produk
Vila & Apt.
Tiket
Mitra
Akun Ku
Masuk
Daftar
Gaya Hidup Sehat

Budaya Lembur: Ketika Kerja Lebih Lama Tidak Selalu Lebih Baik

Ditulis oleh Millway Wellness Team • 12 Sep 2025 (Jumat.)

Di banyak kantor, pulang larut malam sering dianggap wajar— bahkan dibanggakan. Kita menilai diri sendiri dan tim dari berapa lama berada di depan layar, bukan dari hasil yang benar-benar berarti. Namun di balik jam kerja yang memanjang, ada harga yang dibayar pelan-pelan: fokus menurun, relasi renggang, dan tubuh yang terus meminta istirahat.


Kenapa Lembur Terasa “Normal”?

Budaya lembur jarang lahir dari satu faktor tunggal. Ia terbentuk dari target yang tidak realistis, proses yang kurang rapi, dan miskomunikasi soal prioritas. Ditambah persepsi keliru bahwa jam kerja panjang adalah bukti dedikasi, banyak orang akhirnya memilih tinggal lebih lama dibanding memperbaiki cara kerjanya.

Ketika pola ini berlangsung lama, kita lupa membedakan antara kerja sibuk dan kerja bermakna. Kalender penuh meeting, notifikasi tak berhenti, tetapi hal-hal penting justru tertunda. Di titik ini, lembur terasa seperti solusi cepat, padahal ia menutupi akar masalah yang belum dibereskan.


Dampak Tersembunyi pada Hidup dan Kerja

Jam tidur yang berantakan membuat energi mental terkikis. Keesokan harinya, konsentrasi mudah pecah, keputusan melambat, dan kualitas kerja menurun. Ironisnya, lembur yang dimaksudkan untuk “mengejar ketertinggalan” justru menciptakan lingkaran baru:

lelah → performa turun → perlu waktu lebih lama → makin lelah.

Di luar kantor, relasi juga ikut terkena dampak. Waktu bersama keluarga menyempit, ruang untuk hobi menghilang, dan perasaan “hidup hanya untuk kerja” pelan-pelan muncul. Kita mungkin tidak menyadarinya setiap hari, tapi akumulasi kecil inilah yang menentukan arah kesehatan dan kebahagiaan jangka panjang.


Menggeser Budaya: Dari Jam Panjang ke Kerja Bermakna

Perubahan dimulai dari kejelasan: apa prioritas minggu ini, siapa melakukan apa, dan kapan sesuatu disebut “selesai”. Ketika tim sepakat pada definisi hasil, kita lebih mudah berkata “cukup” tanpa rasa bersalah. Manajemen waktu pun tidak lagi soal menjejalkan lebih banyak tugas, melainkan memberi ruang bagi fokus dan pemulihan.

Jika perlu, sederhanakan langkahnya agar bisa dijalankan konsisten:

  • Tetapkan jam pulang realistis dan lindungi “golden hours” tanpa meeting.
  • Tutup hari kerja dengan review singkat: apa yang selesai, apa yang ditunda, kenapa.
  • Bangun kebiasaan pemulihan mikro: jeda 5 menit tiap 60–90 menit, peregangan, atau napas mindful.

Kesimpulan

Lembur bisa terjadi, tetapi jangan sampai menjadi identitas. Ukur kemajuan dari kualitas hasil, bukan lamanya waktu di kursi. Ketika ritme kerja lebih sehat, energi kembali utuh, dan hidup di luar kantor pun punya tempatnya.

Baca Juga

Keranjang Belanja