Quiet quitting sempat viral di kalangan Gen Z sebagai bentuk “perlawanan” terhadap budaya hustle. Intinya, bekerja hanya sesuai deskripsi kerja tanpa tambahan effort yang tidak dibayar. Sekilas terlihat sehat, namun apakah benar ini bentuk self-care atau justru tanda burnout terselubung?
Quiet quitting bukan berarti resign diam-diam. Istilah ini lebih ke sikap mental di mana seseorang hanya melakukan pekerjaan minimal sesuai kontrak, tanpa ambisi untuk lebih. Bagi sebagian orang, ini terasa seperti bentuk perlindungan diri dari ekspektasi yang berlebihan di tempat kerja.
Fenomena ini banyak dipicu oleh kombinasi faktor budaya kerja modern dan dinamika generasi. Beberapa alasannya antara lain:
Bagi banyak anak muda, quiet quitting adalah sinyal bahwa mereka tidak lagi ingin mengorbankan kesehatan fisik dan mental hanya demi “karir ideal” yang tidak realistis.
Meski terlihat seperti self-care, pola ini bisa memicu risiko lain. Ketika disengagement terjadi terlalu lama, muncul efek samping seperti:
Quiet quitting sering disalahartikan sebagai bentuk self-care. Padahal, self-care yang sehat biasanya melibatkan perawatan diri aktif: olahraga, tidur cukup, komunikasi sehat, hingga eksplorasi hobi. Quiet quitting lebih mirip bentuk perlawanan pasif, yang jika tidak dikelola justru membuat seseorang makin terjebak dalam kelelahan emosional.
Quiet quitting bisa jadi wake-up call bahwa work-life balance itu penting. Tapi alih-alih berhenti total, ada langkah-langkah yang bisa ditempuh:
Dengan begitu, quiet quitting tidak menjadi pelarian, tapi justru titik awal untuk membangun hubungan kerja yang lebih sehat dan bermakna.