Diabetes insipidus (DI) berbeda dari diabetes melitus. Pada DI, pengaturan keseimbangan cairan terganggu karena masalah pada hormon antidiuretik (ADH)/vasopresin, sehingga ginjal tidak menahan air dan urine menjadi sangat encer dalam jumlah besar.
Tanda utama adalah poliuria (urine sangat encer dalam jumlah besar, bisa >10 L/hari) dan polidipsia (haus berlebihan). Kehilangan cairan terus-menerus menimbulkan dehidrasi—mulut kering, sakit kepala, kelelahan—serta sering buang air kecil di malam hari yang mengganggu tidur. Pada sebagian orang, konsentrasi dan performa harian ikut menurun akibat gangguan tidur dan kekurangan cairan.
DI dapat disebabkan cedera kepala, operasi otak, atau tumor yang merusak hipofisis; infeksi (meningitis/ensefalitis) yang mengganggu produksi ADH; kelainan genetik, kanker, maupun kerusakan ginjal. Sejumlah obat—terutama lithium—juga dikenal memicu DI pada sebagian pasien. Identifikasi penyebab penting untuk menentukan terapi yang tepat.
Dokter biasanya memadukan tes urine (menilai konsentrasi dan elektrolit) dan tes darah (menilai status cairan serta hormon, termasuk ADH) untuk memetakan masalah. Riwayat kesehatan dan obat yang dikonsumsi membantu menyingkap faktor pemicu. Bila dicurigai kelainan struktural, pencitraan seperti MRI atau CT scan dilakukan untuk menilai kondisi otak dan ginjal. Tujuannya adalah memastikan jenis DI dan menyingkirkan kondisi lain yang mirip gejalanya.
Penanganan difokuskan pada mengembalikan keseimbangan cairan dan menargetkan penyebab. Pada kasus sentral, desmopresin sebagai pengganti ADH sering menjadi terapi utama dan dapat diberikan secara oral, semprot, atau injeksi. Pasien juga diarahkan untuk mengatur asupan cairan agar terhindar dari dehidrasi maupun overhidrasi. Pada tipe nefrogenik, dokter dapat menyesuaikan obat-obatan (misalnya menghentikan pemicu seperti lithium), mempertimbangkan diuretik tertentu, dan menyusun pola makan yang mendukung fungsi ginjal. Koreksi penyebab dasar—seperti menata laksana tumor atau infeksi—menjadi bagian integral dari terapi.
Tidak semua kasus dapat dicegah, tetapi langkah sederhana membantu menurunkan risiko dan mengelola gejala: cukupi cairan harian, batasi alkohol dan kafein, kelola stres, serta hindari aktivitas fisik berat tanpa hidrasi memadai. Untuk pasien yang memakai obat berisiko, diskusikan alternatif atau pemantauan rutin bersama tenaga kesehatan. Edukasi diri dan keluarga tentang tanda dehidrasi juga krusial agar pertolongan dapat diberikan lebih cepat.
Tanpa penanganan, kekurangan cairan yang berulang bisa berujung pada dehidrasi berat dan gangguan elektrolit yang memengaruhi organ vital. Dalam kondisi ekstrem, dapat terjadi gagal ginjal, gangguan fungsi otak, infeksi, hingga keadaan yang mengancam jiwa. Pemantauan berkala, kepatuhan terapi, dan akses cepat ke layanan kesehatan membantu mencegah dampak jangka panjang.